Kisah Perjalanan Menuju Kebebasan dalam Buku Harian Perempuan yang Dihancurkan
Ditulis untuk workshop menulis Semaine de la Francophonie 2023 bersama Komunitas Salihara. Disunting oleh Dewi Kharisma Michellia.
Setiap manusia hidup dengan berproses. Disengaja atau tidak, mau atau tidak mau, proses melekat pada diri dan kehidupan manusia. Dalam berproses inilah, manusia berhadapan dengan esensi kebebasan. Menurut Simone de Beauvoir, esensi kebebasan menyelaraskan kebebasan dengan ketidakpastian dan risiko dalam proses kehidupan. Kebebasan terletak pada proses menuju bebas, yang disertai dengan menerima konsekuensi dari proses itu sendiri dan kesadaran atas kebebasan orang lain. Berbicara tentang kebebasan bagi perempuan membutuhkan perspektif tersendiri yang turut mengakui situasi dan kondisi yang secara khusus dialami perempuan. Sudut pandang de Beauvoir tentang kebebasan perempuan diterjemahkan ke dalam karya fiksinya yang menceritakan perjalanan seorang perempuan kala menghadapi krisis.
De Beauvoir adalah seorang penulis dan filsuf Prancis yang banyak berkontribusi terhadap eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang mengeksplorasi topik-topik seputar makna, tujuan, dan nilai keberadaan manusia. Lahir pada 1908, de Beauvoir menjalani kehidupannya pada masa yang masih dilanda tingginya patriarki. Meski didorong untuk membaca dan menulis sejak kecil oleh ayahnya, de Beauvoir masih merasakan dan melihat adanya diskriminasi dan ekspektasi berlandaskan gender. Karena itu, melalui pandangan eksistensialis, de Beauvoir banyak mengeksplorasi tema-tema seputar perempuan dan gender. Karya de Beauvoir, Le Deuxième Sexe dikenal sebagai kitab ideologi feminisme, bahkan sebelum de Beauvoir sendiri menyatakan dirinya sebagai seorang feminis. Ketertarikan de Beauvoir pada hubungan manusia secara umum mungkin menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi penulisan beberapa karyanya, seperti rangkaian novela “Perempuan yang Dihancurkan” atau “La Femme rompue” (1967).
Perempuan yang Dihancurkan merupakan kumpulan dari tiga novela yang berjudul “The Age of Discretion”, “Monologue”, dan yang terakhir “The Woman Destroyed”. De Beauvoir pintar dalam menampilkan intensitas emosi yang dirasakan tokoh-tokoh utamanya yang mampu membuat kita sebagai pembaca berempati terhadap para tokoh. Namun begitu, ia tetap memberikan perspektif lain sebagai bentuk de Beauvoir dalam memanusiakan tokoh-tokohnya–menampilkan tokoh yang tidak luput dari kesalahan–yang membuat pembaca berpikir bagaimana posisi para tokoh dalam krisis yang melanda mereka. Menarik untuk diketahui, ketiga tokoh utamanya memiliki peran sebagai ibu dan istri meski de Beauvoir sendiri bukan merupakan seorang ibu dan istri. Bahkan, sejak usia muda ia merasa peran tersebut bukan untuk dirinya. De Beauvoir lebih tertarik untuk menjalani hidup sebagai seorang intelektual, ia meneruskan pendidikan dan mambangun kesuksesan di bidang filosofi yang mampu memberikannya kemandirian ekonomi–sebuah bekal baginya untuk menghadapi kendala patriarki.
Gaya penulisan “stream of consciousness” dimanfaatkan de Beauvoir untuk mendalami proses berpikir dan mengekspresikan perasaan para tokoh utamanya, memberikan sensasi mentah dari pemikiran para tokoh dalam rangkaian novela ini. Dalam novela ketiga, cerita yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini, tokoh utama berusia paruh baya bernama Monique menuangkan ceritanya dalam bentuk cerita harian, sesuatu yang juga sering dilakukan oleh de Beauvoir. Dua judul buku de Beauvoir yang telah dipublikasi merupakan bentuk dari buku harian, yaitu Diary of a Philosophy Student (Vol I & II) dan Wartime Diary. Sekilas terlihat bahwa menulis buku harian berarti menulis kejujuran. Memang, tulisan dalam buku harian mampu menampilkan kejujuran tentang apa yang seseorang pikirkan mengenai suatu fakta atau kejadian, tetapi bukan berarti kebenaran yang sebenar-benarnya. Seperti yang ia tulis dalam novela ini, “What an odd thing a diary is: the things you omit are more important than those you put in”. Namun begitu, buku harian tetap memiliki peran besar dalam proses pembentukan individu karena mampu membingkai dan memperjelas pikiran serta perasaan penulisnya. Dari gaya buku harian tersebut, de Beauvoir mengeksplorasi perspektif kejujuran versi tokoh utamanya dan bagaimana mereka menempatkan diri mereka dalam suatu situasi.
Lantas dalam “buku harian” ini, pembaca dapat melihat isi pikiran dan proses berpikir Monique ketika mencoba bebas dari kondisi dan situasi yang ia rasa menyengsarakan. Sejak awal kita ditunjukkan seberapa tinggi kesadaran Monique atas isi kepala dan hatinya. Monique menyadari akan batasan yang ia miliki serta hak-hak yang pantas ia dapat. Seperti pendapat de Beauvoir, bahwa kebebasan seseorang tidak akan ada tanpa menyadari kebebasan orang lain, Monique berusaha menciptakan keseimbangan antara memperjuangkan keadilan bagi dirinya dan menghargai lawannya dalam konflik. Meski tidak bergantung terhadap plot, cerita ini mengalir dengan sendirinya seiring konflik berkembang, membawa pembaca melihat pembentukan diri Monique dan perjuangannya mencari kembali jati dirinya sebagai bagian dari perjalanannya menuju kebebasan.
Cerita dimulai dengan perasaan Monique yang kesepian. Apartemennya terasa kosong dan kedekatannya dengan suaminya, Maurice, berkurang. Tidak lama setelah cerita dimulai, kegelisahannya bertambah dan pembaca mulai disuguhkan dengan sisi histeris Monique ketika ia tahu bahwa suaminya memiliki pasangan lain, Nöellie. Obsesi dan rasa paranoid Monique tentang hubungan rumah tangganya didukung oleh ketergantungannya pada Maurice secara emosional. Bagi Monique, Maurice adalah satu-satunya sosok yang mampu memberikannya ketenangan. Lalu apa jadinya ketika sosok tersebut merupakan sumber dari kegelisahaannya? Monique sudah tidak bekerja dan sejak melahirkan, ia lebih banyak memberikan waktunya untuk keluarga dibanding dirinya sendiri. Meskipun ia tetap menyibukkan diri dengan merajut, membaca, mendengarkan musik, dan hal lain yang ia gemari, Monique berhenti menumbuhkan intelektualitasnya selain dengan membantu Maurice dalam memecahkan kasus medisnya. Monique tidak bisa kabur dari konsekuensi pilihannya yang mengakibatkannya kekurangan keamanan untuk bersandar pada dirinya sendiri.
Selain ketergantungannya kepada Maurice, Monique juga sangat memegang erat perannya sebagai ibu. Kedua anak perempuannya sudah tidak tinggal bersamanya. Ia sangat mendukung mereka untuk mandiri dan memilih jalan hidupnya sendiri. Meski begitu, kepeduliannya untuk orang lain dan nalurinya untuk mengasuh tidak hilang dari dirinya. Dengan hubungannya bersama Maurice yang bermasalah ditambah dengan kedua anaknya yang sudah dewasa dan tak ada di jangkauannya, Monique melampiaskan naluri tersebut ke seorang anak perempuan yang memiliki permasalahan keluarga dan tempat tinggal. Tanpa ragu Monique memberikan dedikasi, waktu, dan tenaganya untuk memastikan bahwa anak tersebut memiliki kehidupan yang lebih baik. Monique sendiri menyadari bahwa ia sudah terbiasa hidup untuk orang lain sehingga sulit baginya kembali hidup untuk diri sendiri.
Kesadaran tersebut merupakan salah satu langkah menuju kebebasannya. Namun, setiap refleksi dirinya masih belum bebas dari opini Maurice terhadapnya. Seiring berjalannya cerita, Monique semakin meragukan dirinya. Keinginannya untuk bebas dari kesengsaraan yang diberikan Maurice bertabrakan dengan rasa sayangnya kepada Maurice dan memori baik yang masih berkelana di benaknya, menjerat dirinya layaknya rantai yang digembok, sehingga menciptakan konflik internal dalam Monique. Tidak jarang ia menepis pikiran dan perasaannya dengan alasan memberi pengertian terhadap Maurice. Alih-alih memperbaiki situasi, semakin lama Monique disuguhkan dengan semakin banyak permintaan dan ekspektasi dari Maurice yang membuatnya semakin bingung untuk memilih antara dirinya atau hubungannya. Bukan hanya meragukan penilaiannya, seiring berlangsungnya konflik, Monique semakin mempertanyakan jati dirinya sendiri. Monique terus dilanda urgensi untuk menentukan kepada siapa jarinya harus ditunjuk, dirinya atau Maurice? Pertentangan ini menggiring pembaca untuk berpikir bersama Monique, tanpa mengetahui apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Kebingungannya tidak berhenti di situ. De Beauvoir menunjukkan dualitas yang ada dalam diri Monique mengenai pendapatnya terhadap perempuan dan bagaimana mereka harus bertindak. Saat Monique berbicara tentang anak-anaknya, ia berpendapat bahwa perempuan bisa menjadi apa pun yang mereka mau, memulai rumah tangga atau berdiri mandiri seorang diri, mengurus anak atau membangun karir–atau keduanya. Namun, di sisi lain, ketika membicarakan Nöellie, rasa menghakiminya menjadi sangat tinggi. Monique terlihat sangat mudah menyerang karakter Nöellie dan menilai pilihan yang diambilnya. De Beauvoir membentuk narasi sedemikian rupa yang mampu menampilkan bahwa kecenderungan Monique membandingkan dirinya sebagai sesama perempuan dan sebagai ibu berakar dari ketidakadilan dan kurungan yang ia dapat dari realitas rumah tangganya. Monique sendiri secara perlahan tersadar atas pikiran-pikiran tersebut dan kesadarannya memberikan kontribusi terhadap konflik internalnya. Pada bagian itu rasanya de Beauvoir semata-mata menuliskan realita serta kemungkinan yang ada pada diri perempuan lain jika berada di posisi Monique.
Tak bisa memikirkan semuanya sendiri, Monique berkonsultasi dengan teman, rekan, dan bahkan anak-anaknya tentang kondisi rumah tangganya. Upayanya dalam mencari kebenaran menampilkan perubahan pada dirinya. Sumber ketenangan Monique tidak lagi berasal dari Maurice melainkan orang-orang yang ia datangi, atau bahkan mungkin terletak pada upayanya untuk bebas dari konflik itu sendiri.
Perempuan yang Dihancurkan adalah sebuah proyeksi apabila seseorang tidak memberikan porsi kepedulian dan cinta yang seimbang kepada diri sendiri di saat ia dengan suka hati memberikannya kepada orang-orang di sekelilingnya. Kisah Monique memberikan gambaran proses individuasi dengan kompleksitas konflik emosional dan pikiran ketika seorang dihadapkan dengan krisis akibat konflik interpersonal. Melalui novela ini, De Beauvoir memperlihatkan bagaimana keterkaitan antara perlakuan terhadap diri sendiri dan manifestasinya dalam hubungan, yang bisa membantu kita mengevaluasi cara kita memberikan kasih sayang kepada diri sendiri dan orang lain–bukan untuk menjadi paranoid, melainkan sebagai bentuk kebebasan bagi diri dan orang-orang terdekat kita.
Kepustakaan
Beauvoir, Simone de. (1987). The Woman Destroyed. New York: Pantheon.
Situs Web
Internet Encyclopedia of Philosophy. Simone de beauvoir, akses melalui https://iep.utm.edu/simone-de-beauvoir/
Stanford Encyclopedia of Philosophy. Simone de beauvoir, akses melalui https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/